Selasa, 17 Mei 2016

Sebaik-baiknya Tipe Pola Asuh Anak


Anak adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa kepada setiap pasangan suami isteri yang dikehendakiNya. Tidak semua pasangan suami istri mendapat kesempatan merawat seorang anak. Untuk itu pasangan suami isteri yang ditakdirkan untuk menerima titipan amanah seorang anak patut bersyukur karenanya. Caranya dengan merawat, memberikan yang terbaik untuk anak, memenuhi segala kebutuhan anak dan mendidiknya dengan pola asuh yang tepat.

Berbicara tentang mendidik anak dengan pola asuh yang tepat, selama ini kita mengenal berbagai tipe pola asuh. Ada yang hanya mengandalkan komunikasi satu arah dari orangtua saja, dan ada yang memakai pola komunikasi dua arah dari orangtua dan anak. Namun dari berbagai tipe pola asuh yang ada, dalam agama Islam kita juga mengenal tipe pola asuh anak yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Nah, pertanyaannya tahapan apa saja yang ada pada tipe pola asuh yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.? Apa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. dalam mendidik anak? Dan sudahkah kita sebagai orangtua melakukannya?

Tahapan dalam pola didik anak menurut ajaran Rasulullah Saw. dimulai dari anak usia 0 sampai dengan 7 tahun yang disebut tahapan dimanjakan. Dalam tahap ini anak harus diberikan kasih sayang sebesar-besarnya dengan adil tanpa membedakan. Jika melakukan kesalahan, anak diberi nasihat dengan cara yang halus tanpa kekerasan. Sehingga anak akan merasa dekat dengan orangtua.

Tahapan kedua dinamakan disebut tahapan didisiplinkan yang dimulai dari anak usia 8 sampai dengan 14 tahun. Dalam tahap ini anak sudah mengerti tentang benar salahnya dan baik buruknya sesuatu hal. Sehingga anak sudah bisa diajarkan tentang sholat, membaca Al-Quran. Dan jika tidak melakukannya orangtua bisa mendisiplinkan anak namun hendaknya dilakukan dengan cara yang baik.

Tahapan ketiga disebut tahapan dijadikan teman. Mengapa? Karena tahapan ini berlangsung pada saat anak berusia 15 sampai dengan 21 tahun. Dalam tahapan ini anak mulai berpikir dewasa dan mulai berinteraksi dengan banyak orang di luar keluarganya. Untuk itu orangtua hendaknya dapat menjadi teman yang nyaman dan menyenangkan bagi anak agar perhatian anak tidak beralih ke orang lain selain orangtuanya.

Tahapan keempat disebut tahapan dibebaskan. Tahapan yang dilalui anak yang berusia diatas 21 tahun. Dalam tahapan ini orangtua memberi kebebasan kepada anak untuk memutuskan sendiri apa yang diinginkannya. Tentunya dengan tetap melakukan pengawasan berupa pemberian saran, nasihat, serta doa agar anak selalu berada di jalan yang benar.

Melihat pesatnya perkembangan teknologi saat ini dengan segala pengaruh negatifnya, maka orangtua hendaknya bijak dalam menerapkan pola asuh terhadap anak. Dan sebaik-baiknya tipe pola asuh anak, orangtua harus yakin dan percaya bahwa tipe pola asuh anak menurut tuntunan Rasulullah Saw. adalah tipe pola asuh anak yang terbaik. Sekarang, setelah Anda mendapatkan ilmu tentang tipe pola asuh anak menurut Rasulullah Saw. ini, siapkah Anda melakukannya?





Teori Dan Praktek Orangtua, Sejalankah?



Sering dijumpai beberapa orangtua yang mengeluh jika si anak tidak menuruti perkataan mereka. Sebagai contoh ketika orangtua menyuruh anak belajar atau melakukan ibadah sholat. Seringkali anak mengelak dengan mengatakan “Sebentar ma ... sebentar pa ....” atau “Nanti aja ya ma ....”. Contoh lain misalnya ketika menjumpai si anak yang mempunyai sifat pemarah atau kasar. Ketika orangtua memberi nasehat, Nak, jangan mudah marah ... belajarlah bersabar,” atau “bersikaplah lembutlah ...” Kira-kira bagaimana respon si anak? Apakah mereka menuruti perkataan orangtuanya atau justru membantah?

Yang seringkali terjadi adalah anak tidak mendengarkan perkataan orangtua.  Mengapa? Karena anak selalu melihat bahwa apa yang dikatakan orangtuanya tidak sejalan dengan apa yang dilakukan orangtua. Dengan kata lain teori dan praktik orangtua tidak sejalan. Benarkah demikian?

Ketika orangtua melihat kamar si anak berantakan, kemudian memanggil si anak dan berkata,Nak, kamar kamu kotor sekali..tidak rapi, banyak barang berantakan. Kalau berantakan seperti ini tidak bagus dipandang, nanti mencari barang yang kamu perlukan susah dicari, bisa jadi sarang nyamuk! Ayo, nak ... bersihkan sekarang juga ya, .kalau sampai jam dua belas siang nanti belum kamu rapikan, kamu enggak boleh main di luar!” Nah, sekarang kira-kira bagaimana tanggapan si anak?

Pasti si anak akan menjawab, “sebentar ma .. .bereskan kamarnya besok-besok aja ma. Aku sedang baca buku komik nih...”. Lain halnya jika orangtua mengajak anak membersihkan kamar disertai dengan tindakan nyata ikut membersihkan kamar si anak, ikut mengatur kamar bersama si anak. Pasti anak akan merasa senang melihat kamarnya  yang lebih bagus, lebih rapi, lebih bersih hasil dari kerja kerasnya bersama orangtua. Sehingga akhirnya anak menjadi yakin jika teori kamar bersih yang dikatakan orangtua adalah benar adanya.
Ketika orangtua mengajak anak untuk ibadah sholat, jika orangtua hanya menyuruh sholat dengan memberikan  teori jika sudah melakukan sholat, hati akan tenang, rezeki, dan kebaikan akan datang dan sebagainya. Tanpa melakukan praktik sholat, maka mustahil jika anak akan dengan senang hati melakukan sholat. Namun ketika orangtua menyuruh sholat sekaligus melakukannya, maka anak akan dengan senang hati melakukan sholat karena orangtuanya sudah memberi contoh untuk melakukan sholat.

Menghadapi anak yang mempunyai sifat pemarah atau pun kasar, pasti penyebab utamanya karena si anak pernah melihat orangtua sedang marah-marah dan bersikap kasar di hadapannya. Dan itulah yang ia contoh. Jika memberi teori kepada anak bahwa sifat pemarah dan kasar adalah sifat yang tidak baik yang dapat menyebabkan hati tidak tenang dan dapat menghancurkan hubungan persahabatan, tanpa disertai tindakan orangtua yang mengendalikan diri dari amarah dan bersikap kasar, maka si anak akan dengan mudahnya mengelak. Mereka berpikiran, “mama-papa aja sering marah-marah, kenapa aku enggak boleh marah?”


Teori dan praktik seringkali tidak sejalan. Yang sering terjadi orangtua hanya mengungkapkan teorinya saja tanpa disertai dengan praktiknya. Yuk, para orangtua mulai saat ini belajar menempatkan teori dan praktik berjalan beriringan. Agar ilmu yang kita berikan kepada anak dapat diterima dan diterapkan dengan baik oleh anak. Tanpa anak harus mengatakan, “ah ayah, ibu ... itu cuma teori!

Sepakat Menerapkan Pola Didik Anak



Ibu Mira terlihat sedang gelisah. Ia berkata, "Suami saya mendidik anak kami dengan pendidikan ala militer di rumah..wajar saja karena orangtuanya dulu adalah seorang tentara dan suami sejak kecil memang dididik dengan cara militer oleh ayahnya. Ada positif dan negatifnya sih, cuma kadang saya jadi cemas ... takut anak kami malah jadi ketakutan dengan ayahnya. Akhirnya malah jadi anak penakut atau malah jadi anak yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Bagaimana solusinya?"

Ungkapan Ibu Mira di atas menunjukkan bahwa telah terjadi ketidaksepakatan antara Ibu Mira dan suami dalam hal menerapkan pola didik terhadap anak. Sang suami ingin menerapkan pendidikan ala militer yang menurutnya baik untuk pembelajaran anak, namun Ibu Mira justru merasa khawatir dengan pola didik anak yang tegas seperti itu. Ya, Ibu Mira merasa kasihan dan tidak tega dengan si anak. Disamping juga khawatir dengan efek negatif dari pola didik ala militer.

Berbicara tentang menerapkan pola asuh yang terbaik untuk anak, terkadang sering terjadi beda pendapat antara ayah dan ibu dalam memilih pola didik yang terbaik untuk anak. Mengapa? Karena secara psikologi terdapat perbedaan antara ayah dan ibu. Biasanya seorang ayah mempunyai sifat yang tegas dan disiplin, sedangkan seorang ibu mempunyai sifat yang penuh kelembutan, sering merasa kasihan dan tidak tega dengan si anak.

Lalu bagaimana agar ayah dan ibu bisa sepakat dalam memilih pola didik yang terbaik untuk anak?

Sebelumnya ayah dan ibu sama-sama harus mencari ilmu tentang beberapa tipe pola asuh untuk anak. Agar ayah dan ibu memahami sisi positif dan negatif tipe pola asuh yang ada. Ketika sudah mempelajari ilmu pola asuh tadi, ayah dan ibu sudah bisa memilih kira-kira mana yang bisa diterapkan kepada si anak. Pola asuh yang dipilih hendaknya yang memberikan rasa nyaman pada anak. Karena jika anak merasa nyaman dengan pola didik ayah dan ibu, maka anak akan mengalami perkembangan yang baik.

Sebagai contoh tipe pola asuh yang membuat rasa nyaman pada anak adalah tipe supportive dimana terjadi komunikasi dua arah antara orangtua dan anak. Anak memberikan pendapatnya, orangtua mendengar pendapat si anak kemudian memberi tanggapan. Tanggapan yang diberikan bisa berupa teguran yang positif, bisa juga berupa pemberian semangat dan juga mengarahkan perilaku anak.

Bagaimana jika tidak terjadi kesepakatan antara ayah dan ibu? Seperti contoh Ibu Mira diatas ketika suami menginginkan pola asuh anak yang tegas dan disiplin ala militer, terkadang si anak menjadi kurang nyaman dengan pola asuh sang ayah. Sehingga bisa saja si anak menjadi kaku, keras, dan bahkan bisa menjadi seorang yang pendendam. Bukan tidak mungkin jika di kemudian hari ia menirukan perilaku militer sang ayah kepada teman di lingkungannya.

Solusi yang bisa diambil jika memang si ayah tetap memilih pola didik ala militer maka si ibu harus bisa mengimbangi dengan pola didik yang supportive. Sebagai contoh, ayah membuat peraturan harus bangun pagi-pagi supaya tidak terlambat beribadah sholat subuh dan jika terlambat bangun pagi akan dikenai hukuman membereskan kamar, maka sang ibu bisa men-support anak dengan mengajak anak tidur tidak terlalu malam agar esok paginya si anak tidak terlambat bangun pagi untuk beribadah sholat subuh. Dengan demikian anak akan merasa tidak tertekan dan tetap merasa nyaman dengan pola asuh ayahnya.

Betapa pentingnya pola asuh terhadap perkembangan anak, maka orangtua perlu bijak dalam memilih tipe pola asuh yang akan diterapkan pada anak. Hendaknya orangtua sepakat memilih yang terbaik demi tumbuh kembang anak. Namun jika tidak terjadi kesepakatan, orangtua masih bisa mencarikan jalan terbaik agar anak tetap nyaman berada dalam pola asuh orangtua meskipun pada dasarnya tidak terjadi kesepakatan antara ayah dan ibu dalam memilih pola asuh.

Yuk, sepakat dan bijak memilih pola asuh anak!



Peran Ibu di Balik Kecerdasan Anak



Ibu Dewi bercerita. "Anak saya punya teman sekolah, dan temannya itu luar biasa cerdas. Hmm sebenarnya wajar sih, ibunya juga cerdas ... berarti apa kecerdasan si anak itu menurun dari ibunya, ya? Apa benar jika ibu cerdas, si anak juga akan menjadi anak yang cerdas?"

Hm, pertanyaan menarik dari ibu Dewi tentang anak cerdas. Sebenarnya faktor apa yang menyebabkan seorang anak menjadi cerdas? Ataukah kecerdasan itu menurun dari sang ibu yang juga cerdas?

Memiliki anak yang cerdas adalah harapan setiap orangtua di dunia ini. Kecerdasan anak dipengaruhi oleh kualitas otaknya. Dan kualitas otak yang baik tersebut sebenarnya bisa dipantau sejak si anak masih dalam kandungan.

Pada saat anak masih dalam kandungan, seorang ibu harus memperhatikan beberapa faktor demi kecerdasan si anak. Dimulai dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi yang cukup dan kondisi kesehatan sang ibu.

Faktor kesiapan seorang wanita untuk menjadi seorang ibu juga menjadi faktor yang membentuk kecerdasan anak. Jika seorang calon ibu tidak siap dengan kehamilannya, pasti akan mengalami tingkat stres yang tinggi. Selain berrisiko terhadap kehamilannya, hal itu juga akan mempengaruhi perkembangan si anak dalam kandungan.

Ibu hamil harus merasa bahagia setiap hari agar si anak dalam kandungan juga ikut merasa bahagia. Dengan begitu otomatis anak akan memiliki tumbuh kembang yang baik dibandingkan dengan ibu yang hamil namun dalam kondisi yang tertekan, stres banyak pikiran. Ibu hamil yang tertekan tidak akan bisa memberikan kasih sayang kepada si anak sejak dalam kandungan. Dan akan menyebabkan perkembangan yang tidak baik untuk si calon anak.

Jika si ibu sudah memenuhi kebutuhan nutrisi anak sejak dalam kandungan, menjalani kehamilan dengan ikhlas dan senang, kemudian beri anak stimulasi yang positif. Stimulasi positif pada anak akan berdampak pada perkembangan otak anak, dapat bersosialisasi dengan lingkungannya serta lebih mempererat hubungan ibu dan anak.

Setiap orangtua pasti mendambakan anak yang cerdas. Kecerdasan anak adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa, dengan perantara ibu hamil yang ikhlas dengan kehamilannya. Yuk, para calon ibu. Jadilah calon ibu yang cerdas. Yang menikmati setiap detik masa-masa kehamilan. Demi calon buah hati yang cerdas. Bersedia?





Ayah, Ibu Berilah Aku Teladan



Suatu pagi terdengar celoteh Ibu Wina. "Anak saya susah sekali jika disuruh bangun pagi. Disuruh sholat juga masih sering bermalas-malasan, disuruh bersihkan kamar apalagi! Duh, bagaimana ya caranya supaya anak saya itu menurut dan melakukan apa yang saya suruh?"

Pernahkah Anda memerintahkan anak untuk mengerjakan sesuatu? Bagaimana cara Anda menyuruhnya? Apakah Anda terkesan memerintahnya?

Ketika Anda menyuruh anak melakukan sesuatu melalui ucapan, beragam respon terlihat dari si anak. Mulai dari acuh tak acuh, tidak peduli, membantah. Yang akhirnya malah perintah kita sebagai orangtua sebagian besar tidak terlaksana. Mengapa? Karena anak rata-rata lebih mempercayai apa yang ia lihat daripada yang ia dengar.

Sebagai contoh ketika tiba masuk waktu sholat. Ketika kita menyuruh anak sholat seringkali yang terlihat adalah ia tidak beranjak sama sekali melakukan yang kita perintahkan. Mengapa? Karena pada saat kita menyuruh mereka sholat, kita sering terlihat asyik dengan kesibukan kita sendiri. Entah dengan gadget kita atau dengan kesibukan yang lain. Si anak akan berpikiran "ayah ibuku saja tidak segera mengerjakan sholat..mengapa aku harus menuruti perintah mereka."

Lain halnya ketika kita menyuruh anak sholat tetapi kita memberi mereka contoh. Kita juga beranjak dari kesibukan kita dan melakukan sholat. Anak pasti akan melihat apa yang kita lakukan. Tidak membutuhkan waktu yang lama, si anak pasti akan langsung mengikuti jejak kita.

Pada saat membersihkan kamar. Jika kita hanya memerintahkan saja kepada anak apalagi disertai dengan omelan, sudah tentu si anak malah tutup telinga dan kalau bisa kabur sejauh-jauhnya dari omelan orangtua. Namun ketika kita mengajaknya membersihkan kamar sambil memberi contoh, mengajak berbicara, mengajak diskusi apa yang sebaiknya dilakukan terhadap kamarnya, si anak pasti dengan senang hati akan ikut membersihkan kamarnya.

Begitupun dengan melakukan kebaikan. Sebagai orangtua tentunya kita menginginkan anak sering berbuat kebaikan pada orang lain. Yang harus dilakukan orangtua adalah memberinya pelajaran berbuat baik dengan mencontohkannya. Seperti mengajak anak untuk berbagi dengan sesamanya yang kurang beruntung, memberi contoh pada anak untuk menghormati orang lain dan juga mengajak anak untuk bersedekah.

Banyak orangtua mengeluh betapa susahnya menyuruh anak melakukan hal yang baik. Tetapi Andai saja orangtua menyadari bahwa anak lebih membutuhkan teladan daripada perintah, niscaya akan lebih mudah bagi orangtua untuk mengajarkan kebaikan pada anak tanpa mereka merasa dipaksa melakukan perintah orangtua. Jadi, ayah dan ibu sudah siapkah memberi teladan pada anak?












Anak Nakal? Orangtua Ikut Andil Di dalamnya!


Anak nakal semata-mata bukan salah mereka. Terkadang sebagai orang tua justru kita ikut berperan dalam membentuk karakternya sebagai anak nakal.

Pernah mendengar seorang ibu atau ayah berteriak pada anaknya dengan ungkapan "adik sekarang kok jadi anak nakal ya?" atau "ayo, jangan jadi anak nakal" dan lain-lain. Yang terkadang disebabkan oleh hal sepele seperti anak yang bertingkah aktif karena ingin menarik perhatian orang tuanya.

Sebetulnya anak berperilaku nakal mutlak bukan kesalahan mereka. Namun mengapa mereka akhirnya menjadi anak yang nakal? Berikut beberapa sebab diantaranya.

1.      Pemberian label yang buruk
Jika seorang anak sudah terlanjur diberikan label oleh orang tuanya sebagai anak nakal, maka dalam pikiran dan hatinya akan tertanam keyakinan kalau ia memang seorang anak yang nakal. Sehingga jika seorang anak melakukan suatu kenakalan yang harus diperbaiki adalah perilaku nakalnya. Bukan memberi label dan mencapnya sebagai anak nakal.

2.      Tidak ada yang memberitahu si anak tentang akibat kenakalannya. Seperti ketika anak berlari-lari dan naik ke atas meja atau pada saat anak bermain bola dalam rumah yang berpotensi membuat rumah menjadi berantakan. Selama ini jika hal tersebut terjadi ungkapan yang keluar dari mulut orang tua adalah "adik jangan nakal" atau " adik sekarang kok nakal ya?". Seharusnya si anak diajak duduk bersama diberi pengertian jika berlari-lari dalam rumah atau naik-naik ke atas meja akibatnya bisa terjatuh. Kalau main bola dalam rumah bisa memecahkan kaca jendela dan ungkapan-ungkapan lain yang bersifat memberi pengetahuan pada si anak.


Anak nakal semata-mata bukan salah mereka. Terkadang sebagai orang tua justru kita ikut berperan dalam membentuk karakternya sebagai anak nakal. Yuk, para orang tua mulai saat ini ucapkanlah yang baik-baik kepada anak. Hal itu akan semakin membuatnya percaya kalau ia bukanlah terlahir sebagai anak nakal.




                                                           

Anak dan Masa Depannya



Anak adalah titipan amanah dari Sang Maha Kuasa kepada orangtua yang  harus dijaga sebaik-baiknya. Orangtua mempunyai kewajiban memberikan yang terbaik untuk anak-anak dalam hal kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan termasuk dalam hal masa depannya.

Berbicara tentang masa depan, setiap orangtua pasti menginginkan si anak dapat meraih cita-citanya setinggi mungkin. Bahkan berharap si anak dapat melebihi keadaan orangtuanya saat ini. Dengan tingginya harapan itu, orangtua melakukan banyak hal agar si anak bisa mendapatkan masa depan yang baik.

Dimulai dengan memilih sekolah terbaik yang tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit. Juga mendaftarkan ke berbagai lembaga seni atau olahraga untuk menyalurkan bakat anak. Dan tak lupa mengikutsertakan anak-anak ke berbagai les privat seperti les bahasa asing, matematika, dan lain-lain.

Namun dengan tingginya harapan orangtua terhadap anak-anaknya yang kerap kali terjadi orangtua sering memaksakan kehendaknya kepada anak. Padahal di satu sisi bisa jadi si anak tidak menyukai apa yang orangtua kehendaki.

Sebagai contoh ketika orangtua menginginkan anak pada saat dewasa nanti menjadi seorang dokter sedangkan di sisi lain anak ingin sekali menjadi guru, maka anak akan menjalani masa-masa sekolah dengan perasaan terpaksa. Merasa tidak nyaman dengan pilihan orangtua. Hal ini bisa berakibat anak menjadi stres, nilai sekolah semakin menurun, tidak bersemangat  menuntut ilmu dan lain-lain.

Begitupun yang terjadi dengan penyaluran bakat anak. Orangtua dan anak sering berbeda pendapat. Orangtua menginginkan anak menguasai musik, namun si anak ingin menyalurkan bakat menari. Dalam hal mencapai tujuan agar si anak menjadi bintang kelas, orangtua seringkali memaksa anak untuk mengikuti berbagai les privat. Padahal terkadang anak merasa nyaman jika ia belajar sendiri.

Jadi bagaimana sebaiknya?

Para orangtua hendaknya tidak memaksakan keinginannya pada anak. Biarkanlah anak mempunyai pilihan hidup dan cita-cita sendiri. Karena jika orangtua tetap memaksakan kehendak, maka berakibat anak akan menjadi marah, kecewa, sedih. Bahkan bisa berpikir untuk tidak lagi peduli terhadap masa depannya.

Orangtua sebaiknya mengarahkan, memberikan perhatian, arahan, dan bimbingan mana yang terbaik untuk anak. Biarkan anak memutuskan sendiri apa yang menjadi keinginannya. Berikan fasilitas yang mendukung tercapainya cita-citanya. Dengan begitu anak akan menjadi semakin bersemangat merencanakan masa depannya.

Selain itu orangtua harus belajar  percaya pada anak, berhenti menyalahkan anak, selalu bersabar, mengajarkan keterampilan pada anak, mendisiplinkan anak, belajar konsisten terhadap apa yang sudah dikatakan, berani bicara jujur serta belajar cepat memberi respon. Dengan orangtua belajar tentang hal-hal tersebut dan kemudian anak melihatnya maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab  sebagai langkah awal menentukan masa depannya.

Masa depan anak adalah tanggung jawab orangtua. Biarkan anak-anak memutuskan sendiri apa yang menjadi keinginan dan cita-citanya. Tugas orangtua adalah mengarahkan dan membimbing apa yang menjadi keinginan anak selama itu adalah yang terbaik bagi masa depan anak.